Oleh : Fathur Rozy (Pembina Ekstrakurikuler Bidang Literasi MTs. Miftahul Ulum 2 Banyuputih Kidul)
Prolog
Diskursus tentang Islam dan kebangsaan memang selalu menarik diperbincangkan. Dari berbagai aspek, kerap kali ada saja pihak yang -entah disadari atau tidak- ingin membenturkan keduanya.
Islam sebagai agama, tentu memiliki konsep dasar dan tuntunan bagi pemeluknya untuk berinteraksi antar sesama dalam satu-kesatuan masyarakat. Di sisi lain, kebangsaan Indonesia, telah menentukan garis besar haluannya sebagai sebuah negara kesatuan yang berdaulat. Menjadi pamong atas keragaman etnis, suku dan kepercayaan penduduknya.
Islam, Indonesia dan Kebangsaan
Sebagai pintu masuk mengetahui bagaimana Islam memandang semangat kebangsaan, terlebih dulu kita pahami pengertian kebangsaan itu sendiri. Bangsa dalam istilah bahasa Indonesia adalah bentuk bangunan masyarakat berdasarkan beberapa persamaan, seperti asal – usul keturunan, adat-istiadat, bahasa, serta sejarah. Dalam hal ini, yang dimaksud masyarakat, pada dasarnya bukan hanya sekelompok manusia saja, binatang, atau tumbuhan yang mempunyai asal-usul sifat khas yang sama juga tergolong bangsa dalam pengertian ini.
Kesamaan dan persamaan itulah yang kemudian menjadi dasar pembentukan beberapa hal seperti; Negara, falsafah hidup, undang-undang, penentuan hak wilayah sebagai sebuah kedaulatan, menentukan tujuan bangsanya, dan mengupayakan kemakmuran bersama. Hal ini kemudian menumbuhkan kecintaan, rasa perjuangan, pembelaan, serta memunculkan patriotisme kebangsaan.
Sejatinya, kebangsaan dan pembentukan kelompok masyarakat menjadi satu-kesatuan yang berdaulat, adalah keniscayaan dalam Islam. Tentu atas dasar legitimasi Al -Qur’an dalam fungsinya sebagai pedoman dasar berkehidupan. Pada beberapa tempat, Al-Qur’an menyinggung perihal itu dengan menyebutkan bahwa manusia diciptakan bersuku dan berbangsa-bangsa untuk saling mengenal (QS. al-Hujurat: 13). Bahkan hewan juga demikian (QS. al-An`am:38). Berkumpul berdasarkan ras dan kelompok yang masing-masing menjadi ummat (QS.al-A`raf: 160). Begitu juga perbedaan bahasa sebagai tanda penciptaan-Nya (QS. al-Rum:22). Namun, perkumpulan ini bukan untuk perpecahan (QS. Ali-Imran: 105), melainkan untuk saling mengenal potensi agar kehidupan terus berkelanjutan.

Al-Qur’an memberikan isyarat indah tentang pergumulan sosial yang Allah kehendaki. Dengan ayat-ayat-Nya Allah memberi kita pemahaman kebangsaan yang paling mendasar yaitu saling mengenal dan berinteraksi secara sehat. Bukan hanya dalam taraf nasionalistis, namun hingga ruang lingkup trans-nasional yang lebih luas. Allah sangat mampu menciptakan seluruh manusia sebagai satu bangsa jika berkehendak. Namun bukan itu ketentuan -Nya. Allah menghendaki persatuan, bukan hanya penyatuan. Al-Qur’an menjelaskan ini dengan frasa ummat wahidah dalam bentuk penyifatan, bukan wahdah al-ummah sebagai bentuk penyandaran.
Semangat persatuan bangsa pun diteladankan oleh Rasulullah dan para sahabat. Betapa mereka begitu mencintai Makkah sebagai tanah leluhur, tumpah darah, dan kampung halaman. Bahkan ketika beliau terpaksa meninggalkan Makkah, rasa cinta beliau bergejolak hingga membuat beliau mengucap sumpah, andaikata penduduk Makkah tidak mengusir beliau ketika itu, tentu beliau takkan meninggalkan tempat kelahirannya. Sikap yang ditunjukkan Rasulullah inilah yang kini kita kenal sebagai semangat nasionalisme.
Persatuan atas dasar cinta tanah air dan kesamaan tumpah darah, memang sekilas meniadakan semangat persatuaan atas dasar kesamaan agama, Islam. Namun bukan itu sebenarnya. Dalam konsep persaudaraan, Islam menghadirkan ukhuwwah basyariyyah, persaudaraan antar manusia karena berasal dari leluhur yang sama, ukhuwwah wathaniyyah, persaudaraan dengan semangat nasional, dan ukhuwwah islamiyyah sebagai semangat pemersatu sesama muslim. Yang terakhir ini pun telah ditunjukkan dengan berkumpulnya negara-negara Islam dalam satu wadah OKI, dan saling bekerjasama dalam berbagai bidang.
Dalam konteks keindonesiaan, unsur-unsur pembentuk bangsa diatas, juga menjadi dasar pembentuk negara ini. Lebih istimewa lagi, Indonesia mampu membentuk kedaulatan dengan keragaman suku bangsa, ras, agama dan bahasa. Maka tak heran bila para pembangun bangsa sepakat menjadikan bhinneka tunggal ika sebagai bentuk reprsentasi sikap kebangsaan Indonesia.
Berhubungan dengan status keislamanya, ada pendapat bahwa Indonesia masih layak disebut Negara Islam (dâr Islam). Imam Rafi`i menyebutkan dalam ‘Hasyiah al-Jumal’ tiga ketegorinya. (1) Dihuni ummat Islam, (2) ditaklukkan umat islam dan penduduknya membayar pajak, (3), dihuni umat Islam lalu dijajah oleh orang kafir. Dalam ‘Bughyah’ ditambahkan adanya penduduk muslim yang pernah mempertahankan diri dari kafir harby. Ini berlaku pada masa awal-awal penjajahan, kerajaan Islam berusaha mengusir penjajah. Maka Indonesia masuk ketegori tersebut, atau setidaknya jika bukan Islam murni maka tetap sah menurut Islam, bukan ‘Dâr al-Kuffar’.
Epilog
Terdapat catatan sejarah yang mengingatkan kita, betapa Islam sangat menghargai kedaulatan suatu bangsa dengan ragam corak kehidupan masyarakatnya. Yahudi Yatsrib bebas menjalankan agamanya berkat Piagam Madinah, MoU sosial yang diinisiasi Rasulullah. Para pendeta di Konstantinopel lebih damai hidupnya dibawah kepemimpinan Muhammad Al -Fatih, daripada raja-raja sebelumnya. Tiga agama samawi hidup berdampingan dengan damai di Palestina, setelah Umar bin Khattab memegang kendali kawasan itu. Bandingkan itu dengan alternatif yang diberikan kepada kaum muslim Spanyol, saat Raja Ferdinand dan Ratu Issabella menyatukan kekuatan; keluar dari Spanyol, masuk agama Kristen atau dihukum penggal. Konon, lebih dari 1000 jiwa muslim menjadi korban.
Sampai di titik ini, kita akan bisa menilai, bahwa Indonesia, status kebangsaannya telah sejak dulu dibenarkan Islam. Karena Islam menghendaki persatuan, dan Indonesia tunggal dalam kebhinekaan.