Oleh : Abdur Rozaq, S.Sos *)
Bagi seorang suami, sejatinya perempuan diciptakan dari rusuk pria – perempuan adalah penopang lurus atau tidaknya jalan hidup pria; Orang Jawa menyebutnya Garwo(Sigarane Nyowo =Belahan Jiwa). Sedangkan bagi seorang anak, surga ada di telapak kaki ibunya – ia wajib tunduk berbakti dan menghormatinya. Kemudian bagi rakyat Indonesia, tanah air dan udara adalah Ibu Pertiwi yang harkat martabatnya wajib dijunjung tinggi dan dibela – kedaulatan harga mati.
Peringatan Hari Ibu Indonesia ke-92 tahun ini mengangkat tema Perempuan Berdaya Indonesia Maju. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) merilis logo dan menjelaskan makna filosofisnya, yaitu: Bentuk bunga melati merepresentasikan cara berpikir perempuan berdaya; Cerdas intelektual (ilmu), cerdas emosional (ikhlas/ tabah), dan cerdas spiritual (iman); Menebarkan pemikiran positif layaknya bunga menebarkan aroma harum. Sedangkan siluet dan wajah perempuan representasi dari sikap dan tindakan perempuan berdaya; Tegas, namun lembut penuh cinta; Menatap ke depan penuh percaya diri; Tangguh, mampu menjalankan peran dalam berbagai aspek kehidupan secara seimbang dalam kesetaraan.
Dalam hal kesetaraan, ibu-ibu Indonesia di tahun ini membuktikan tidak hanya sebagai “teman di belakang” bagi para suami namun mereka mengambil peran suami seperti misalnya berdikari menciptakan usaha-usaha demi pemasukan ekonomi keluarga karena suami mengalami pemutusan hubungan kerja sejak pandemi covid-19 berlangsung. Menyongsong masa depan dengan optimis dapat kita lihat bagaimana para ibu dengan sabar membimbing putra-putrinya belajar di rumah karena sekolah ditutup demi keselamatan generasi penerus bangsa.
Tahun ini merupakan tahun yang sulit bagi kita semuanya, namun tidak bagi para ibu, mereka selalu siap berjuang dan mengambil peran. Sebutlah contoh menteri ekonomi saat ini, Ibu Sri Mulyani, beliau merupakan tim utama dalam pemerintahan Joko Widodo selama 2 periode berjalan. Di masa pandemi ini Bu Sri berkali-kali harus membuat kebijakan sulit, kebijakan yang menuai pro-kontra dalam usaha penyelamatan kas negara dan lain sebagainya. Di legislatif, tokoh perempuan menjabat sebagai Ketua DPR, Puan Maharani, cucu dari sang proklamator dan presiden pertama Indonesia serta putri dari presiden ke-5 Indonesia. Seperti Bu Sri di eksekutif, Bu Puan dan anggota dewan terhormat lainnya pun berjuang menyelamatkan rakyat Indonesia dari pandemi Covid-19 dengan menghadirkan produk undang-undang yang salahsatunya UU Ciptakerja, walaupun kemudian menghasilkan gelombang demonstrasi dari masyarakat.
Pucuk-pucuk kepemimpinan saat ini faktanya ada di pundak para ibu, mereka memiliki kapabilitas yang setara dengan kaum pria. Semenjak sumpah pemuda digelorakan (baca artikel berjudul: Butir Melodi Persatuan Indonesia (Refleksi Peringatan Sumpah Pemuda, 2020) di website ini), para wanita terlibat aktif berjuang bersama. Diawali dari lahirnya Budi Oetomo yang membuka wawasan tentang politik sebagai jalan perlawanan terhadap penjajah dan jalan hidup merdeka berdaulat, lahirlah pula perkumpulan-perkumpulan wanita di berbagai daerah.
Puncaknya saat terjadi Peristiwa Sumpah Pemuda, perkumpulan wanita di seluruh Indonesia pada tanggal 22-25 Desember 1928 kemudian melakukan hal serupa, yaitu mengadakan Kongres Perempuan Indonesia bertempat di Dalem Jayadipuran (kini menjadi Kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional) Jalan Brigjen Katamso, Kota Yogyakarta. Dipelopori oleh Soejatin, Nyi Hadjar Dewantoro, dan R.A. Soekonto. Isu yang diangkat dalam kongres tersebut yaitu membangun kesadaran bagi kaum perempuan di Indonesia untuk memperjuangkan hak-haknya – saat itu umumnya masyarakat membatasi ruang gerak kaum perempuan sebagai bentuk implementasi adat. Kongres perdana ini dihadiri kurang-lebih 600 orang dari 30 organisasi (umumnya berasal dari Sumatera dan Jawa) kemudian terjalin persatuan di antara mereka lantas disepakati pembentukan Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia (PPPI). Gema Sumpah Pemuda dan melodi lagu kebangsaan Indonesia Raya yang pada 28 Oktober 1928 digelorakan dalam Kongres Pemuda Indonesia, turut membangunkan semangat para pimpinan perkumpulan kaum perempuan untuk mempersatukan diri dalam satu kesatuan wadah mandiri.
Setahun kemudian Perikatan Perkoempoelan Perempuan Indonesia (PPPI) berganti nama menjadi Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII) atas desakan berbagai pihak, walaupun nama yang dipilih mengandung kontroversi kala itu. Di tahun Pada 1935, diadakan Kongres Perempuan Indonesia II (kongres kedua) di Jakarta yang menetapkan fungsi utama Perempuan Indonesia sebagai Ibu Bangsa yang berkewajiban melahirkan dan menumbuhkan serta mendidik generasi baru yang mencintai dan berbakti pada nusa bangsa Indonesia – istilah Ibu Pertiwi yang kerap kita dengar muncul pertama kali di kongres kedua ini. Mengangkat isu tentang pendidikan bagi anak perempuan, perkawinan anak/usia dini – kawin paksa, permaduan dan perceraian secara sewenang-wenang, gizi balita dan anak, perdagangan perempuan dan anak, dan beberapa hal lainnya.Selain itu juga membentuk Badan Kongres Perempuan Indonesia (BKPI) sebagai pengganti dari Perikatan Perkoempoelan Istri Indonesia (PPII).
Tiga tahun kemudian pada tanggal 22-27 Juli 1938 Kongres Perempuan Indonesia III diadakan di Bandung, kongres kali ini menyatakan tanggal 22 Desember sebagai Hari Ibu Pertiwi yaitu satu rangkaian kesejarahan merebut kemerdekaan sejak Peristiwa Sumpah Pemuda – mengharapkan generasi penerus untuk mengingat dan mengilhami semangat persatuan dan kesatuan gerakan perempuan Indonesia. Banyak pahlawan nasional sebelum kemerdekaan adalah para ibu, mereka seperti kaum pria yang tak segan lagi mengangkat senjata dan bertatap muka dengan peluru panas, jasa pengorbanan mereka patutlah dikenang. Seperti pepatah: Kasih ibu sepanjang masa; Kasih sayang anak sepanjang galah, balasan untuk para ibu yang telah mengorbankan dirinya demi merdekanya Indonesia hanyalah dengan kita pertahankan persatuan dan kesatuan serta kita jaga kerukunan – akan lebih baik jika kita mampu menorehkan prestasi atas nama Indonesia.
Setelah kemerdekaan yaitu tahun 1946, Badan Kongres Perempuan Indonesia (BKPI) ini berganti menjadi Kongres Wanita Indonesia (KOWANI). Saat itu momentum mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda yang dibantu militer Inggris, Kowani berkiprah bersama laskar-laskar kerakyatan sebagai tenaga medis, jurnalis-penyiar radio, dapur umum, dan lain sebagainya. Hingga hari ini Kowani masih eksis, walaupun peran utamanya di bidang politik sudah terwakilkan dalam pemerintahan melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).
Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden Nomor 316 pada 1953 resmi menetapkan 22 Desember sebagai Hari Ibu Indonesia. Hingga saat ini kita peringati sebagai bentuk penghormatan atas jasa pahlawan perempuan, namun pemaknaannya kini bergeser menjadi hari yang semakna dengan Hari Perempuan Internasional (Women Day) – tidak tepat namun sudah menjadi hal lumrah di masyarakat kita.
Sebagai penutup artikel ini, bisa kita tengok undang-undang maupun keputusan negara yang berkaitan dengan isu-isu perempuan, yaitu:
1. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita.
2. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
3. UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
4. UU No. 11 Tahun 2005 tetang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.
5. UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik.
6. UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
7. Keputusan Presiden RI No. 316 Tahun 1959 tentang Hari-hari Nasional yang Bukan Hari Libur.
8. Peraturan Presiden RI No. 7 Tahun 2015 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara Republik Indonesia.
9. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional.
Selamat Hari Ibu kepada seluruh perempuan Indonesia, jadilah sekuat karang dan berilmu cemerlang layaknya kelip bintang-bintang.