Oleh : Danang Satrio Priyono, S.Psi *)
Seluruh negara kini berlomba dalam hal inovasi teknologi dan dengan cepat melakukan penetrasi teknologi-teknologi tersebut ke segala sektor. Hal itu terjadi sebagai bentuk respon atas banyaknya isu global yang butuh secepatnya diselesaikan – khususnya Pandemi Covid-19. Dalam perkembangannya, teknologi berbasis digital dirasa mampu menyelesaikan masalah pandemi yang saat ini terjadi. Hampir di semua bidang pekerjaan kini masuk ke ranah digitalisasi, terutama pekerjaan yang menyangkut prosedural. Dengan hadirnya era digital ini menuntut kita untuk merubah paradigma berpikir, bersikap, dan bertindak, serta berkarya. Karena realitas ruang dan waktu yang dulu kita pahami kini sepenuhnya berbeda, ruang dan forum digital memberikan pengalaman nyata dan tidak terikat batas negara manapun, mulai dari komunikasi digital (social media), pasar digital (marketplace), permainan digital (games), sekolah digital (edu-tech), piranti lunak (application), dan lain sebagainya.
Percepatan alih teknologi ini bagai dua mata koin yang tidak hanya berimplikasi positif, namun juga turut menghasilkan arus negatif sebagai imbas gegar budaya dan ketidaksiapan manusia sebagai pengguna teknologi itu sendiri (gegar teknologi). Globalisasi dunia dengan teknologi digital yang menopangnya sedang berproses menyesuaikan dan membangun kehidupan yang ideal – termasuk pula nilai-nilai yang hendak diterapkan. Meskipun kompleksitas digitalisasi kini menguasai semua lini kehidupan, ada sisi yang takkan bisa diambilalih oleh selain manusia, yaitu: ide, daya cipta, spiritualitas, dan kecakapan sosial. Selain itu, kemampuan berpikir kritis, memecahkan permasalahan, menyelami rasa, dan menggali makna masih tak mampu untuk digantikan dengan komputer.
Baca juga :
ADA SANTRI DI BALIK KEUTUHAN NKRI
Pranata kehidupan kita memang tampak porak-poranda jika merujuk hasil negatif buah dari gegar budaya dan gegar teknologi, terutama di ranah digital. Cyber crime, cyber bullying, pornografi dan pornoaksi, propaganda adu domba, regulasi setengah hati, merupakan salah-satu hal yang mewarnai ruang dunia digital kita. Sedang di realitas permukaan, dinamika politik yang penuh intrik menghasilkan ketidakpercayaan publik, perubahan proses belajar tatap muka menjadi daring mengakibatkan penurunan kualitas belajar, kurangnya pendapatan nafkah (bahkan sebagian masyarakat lain mengalami kehilangan pekerjaan) di tiap-tiap keluarga menimbulkan kemiskinan dan perlambatan ekonomi, peningkatan kejahatan dan penurunan kualitas kesehatan sebagai salah-satu imbas dari faktor ekonomi menciptakan ketidaknyamanan di tengah masyarakat, degradasi empati dan hilangnya semangat gotong-royong membuat lemahnya sistem sosial kemasyarakatan, propaganda sesat pemecah belah keberagaman dan mempertentangkan pluralisme kebangsaan yang bersatu juga menjadi ancaman serius yang tidak dapat disepelekan.
Namun, bumi sebagai tempat tinggal kita dan makhluk lainnya, kini sedang memulihkan diri kendati pandemi yang menjangkiti manusia masih berlangsung. Setelah revolusi mesin-mesin industri dipekerjakan, bumi dikuras habis cadangan airnya dan kandungan mineral serta minyaknya, hutan-hutan digunduli, flora dan faunanya nyaris punah dan ada pula yang benar-benar punah selamanya tergusur hegemoni manusia. Jika dipikirkan kembali, baru kali ini (selama pandemi berlangsung) tampaknya bumi dapat recovery. Sejauh ini kita sebagai
manusia harus mengakui bahwa manusia-lah predator paling mematikan di bumi. Belum pernah tercatat ada hewan atau tumbuhan yang sanggup menimbulkan peperangan hingga sampai dalam bentuk pemusnahan massal.
Di sinilah peranan kaum santri untuk eksis sekaligus sebagai penggerak utama (prime mover), mengambil bagian menjadi harapan semesta agar mampu menyebarkan rahmatan lilalamin. Walaupun apa yang ada di jaman ini tidak pernah dibukukan 10 tahun lalu namun pengalaman mengarungi ketidakpastian, dan menyambut risiko baru wajib dijalani oleh setiap santri, ma la yatimmu al-wajib illa bihi fa huwa wajibun (sesuatu yang sebuah kewajiban tidak sempurna tanpanya, maka sesuatu tersebut menjadi wajib). Ketidakpastian yang hendak dialami, merupakan satu-satunya kepastian santri hari ini. Tak ada yang lebih pasti dari keadaan yang kita alami saat ini. Namun, dari fakta inilah santri akan bergerak perlahan bertransformasi fase demi fase menyesuaikan dinamika jaman. Segala sesuatu harus berubah. Menurut ilmu kejiwaan, manusia berkecenderungan tertantang oleh ketidaktahuannya sendiri (curiosity), dan itu bukti dari manusia yang tumbuh dan berkembang. Kecenderungan ini meniscayakan santri harus terjun ke dalam arus globalisasi dan berkelana di ruang-ruang digital. Dengan prinsip dasar tersebut siapapun yang tak mafhum, pastilah mengalami gegar budaya dan di hari kemudian akan terserak terlindas-lindas di sudut peradaban.
Baca juga :
HARI SANTRI NASIONAL DAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW
Dalam sejarah perjalanannya, kaum santri membuktikan peranannya dalam memperkuat karakter kebangsaan. Seperti pada era kemerdekaan, banyak lahir tokoh-tokoh pejuang dari kalangan santri yang egaliter dan kharismatik serta rela berkorban. Perjuangan politik mereka jalankan dengan penuh amanah demi menciptakan tatanan bernegara yang adil dan sejahtera. Karakter santri yang moderat dan inklusif termanifestasi dalam sikap pluralisme dengan mengukuhkan semangat kebinekaan guna mendukung terbentuknya negara kesatuan Republik Indonesia. Karakter yang melekat dalam diri santri berasal dari tradisi santri yang sangat tampak, yaitu kerelaan berkorban, kemandirian, kesederhanaan, egaliter, tawaduk, dan moderat. Sifat-sifat ini merupakan karakter kebangsaan yang mendasar dan sangat penting dimiliki semua elemen masyarakat. Dengan sifat tersebut, kaum santri menjadi aset bangsa yang memiliki kekuatan karena kemampuannya dalam menjaga karakter kebangsaan. Semua hal itu telah ditunjukkan dengan baik oleh tokoh-tokoh Bangsa Indonesia yang berlatar belakang santri dari masa ke masa.
Kaum santri tidak akan tunduk dengan hegemoni kekuatan asing (walaupun jaman telah berganti). Oleh karenanya, hari ini kita melihat Bangsa Indonesia menghadapi bertumpuk-tumpuk permasalahannya, maka tidak berlebihan apabila sekali lagi bangsa ini berharap agar santri dapat menginternalisasi potensi kekuatannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta hidup di alam globalisasi terutama saat dimana bangsa ini menghadapi rentetan problematikanya. Dengan hal itu, santri tidak hanya mengemban misi nasional (menyelesaikan masalah kebangsaan) tetapi juga mampu merespons tren modernitas dan globalisasi di masa depan, ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh (apa yang tidak bisa diraih keseluruhan maka jangan ditinggal semuanya). Tantangan globalisasi yang makin kompleks saat ini menjadikan nilai-nilai santri menjadi relevan untuk dikembangkan, terutama karena
santri yang telah bertransformasi menjadi kekuatan kelas menengah muslim kini semakin diperhitungkan kekuatannya dalam era digital.
Otoritarianisme yang banyak ada di sistem digitalisasi tidak sejalan dengan sifat egaliter dan demokratis santri, ketidakadilan ekonomi di tataran masyarakat bisa dicegah dengan sikap kemandirian dan tawaduk yang ditopang oleh semangat berkorban santri, sedangkan konflik-konflik yang mengatasnamakan agama maupun terorisme yang masih marak terjadi di negara-negara muslim dapat diatasi dengan sifat moderat dan inklusif santri. Kemampuan santri dalam beradaptasi, menyesuaikan, dan mengendalikan dengan perkembangan yang terjadi akan berdampak positif dalam mencegah dampak-dampak negatif globalisasi. Fakta demikian memerlukan peran santri agar semakin diwadahi dan ditingkatkan, terutama karena perubahan-perubahan arus informasi digital yang sudah sedemikian kompleks serta ketidakpastian perubahan yang akan terjadi karena imbas percepatan pengembangan teknologi.
Walaupun stereotype santri yang penuh kelebihan kemampuan ini tidak lepas dari sikap serba pasrah kepada takdir yang dinilai sebagian kalangan justru kontra-produktif dengan kemajuan dan peningkatan etos kerja dan pertumbuhan ekonomi. Namun penilaian ini tidak sepenuhnya benar, jika ditelisik lebih jauh sikap pasrah (tawakkal) yang tinggi dari para santri ini harus dimaknai sebagai sikap pasrah setelah adanya ikhtiar. Ajaran “tangan di atas lebih mulia daripada tangan di bawah” (yad al-‘ulya khairun min yad al-sufla) menjadikan dasar semangat budaya kerja yang beretos tinggi dan menjunjung sikap jujur dan amanah. Santri harus mampu mempertahankan eksistensinya dan berperan aktif memanfaatkan potensinya sebagai agent pelopor perdamaian dunia.
Santri dinilai sebagai manusia yang ideal. Karena sejak dini mereka tidak hanya diajarkan materi keagamaan akan tetapi juga mempraktikkannya dalam realitas keseharian. Inilah juga yang jadi nilai lebih para santri yang tidak hanya memiliki keilmuan atau orang ‘alim, tetapi juga sekaligus ‘amil. Kesadaran tinggi untuk mengamalkan ilmu yang dipelajari dan dikuasai akan melahirkan hal nyata baik terkait amaliah yang membentuk kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial; baik yang menyangkut pengamalan dalam bentuk ubudiyyah mahdhah maupun ghairu mahdhah berupa perilaku dan karya hasil pengembangan ilmu pengetahuan. Di samping itu, sikap tawasuth, tawazun, dan tasamuh yang dibiasakan sejak dini di pesantren dan dipraktikkan dalam keseharian membentuk budaya damai, tepo sliro, dan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan sehingga diharapkan bisa menyelesaikan dan menangkal berkembangnya paham radikalisme yang marak sepanjang modernitas dan globalisasi ini berlangsung.
Santri yang mengusung Islam Moderat harus berani muncul ke permukaan menuangkan gagasan dalam berbagai disiplin ilmu. Sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah sebagai pembebas, memanusiakan manusia, mendewasakan, mencerahkan, dan memberdayakan kaum yang tidak berdaya dan kaum lemah. Liberation, empowerment, and intellectualization akan mengarah pada kecenderungan open-minded dan kritis pada tiap problematika adalah langkah-langkah pemberdayaan yang memiliki rujukan siratunnabi akan menghasilkan
karya-karya berkualitas yang merupakan perpaduan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengetahuan agama, kecerdasan spiritual, dan semangat jihad fisa bilillah lil maslahtil ummah. Karena santri yang merupakan manifestasi pelajar muslim Indonesia terbukti sepanjang sejarah telah menjadi pewaris dan penjaga Agama Islam yang konsisten, toleran, dan pelindung benteng keberagaman dalam bingkai negara kesatuan Republik Indonesia dalam konteks globalisasi.
*) Waka Humas MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid