Aksi Kemanusiaan Erupsi Semeru – Cerpen

Oleh : Viera Faizatul Maulidia *)

Seperti biasanya, mengawali jam pelajaran, kami membaca doa dan melantunkan sholawat. Namun berbeda suasana kelas pagi itu, selain karena cuaca mendung yang menambah haru biru, juga kami baru saja mendengar adanya musibah di Kabupaten Lumajang. Terlebih ada tiga kawan kami yang izin pulang ke kampung halaman di Tanggal 1 Desember 2021, tiga hari sebelum bencana terjadi.

“Pak, sebelum mulai pelajaran mohon ceritakan kejadian erupsi kemarin!” Pintaku selepas membaca doa.

“Baiklah, namun saya minta kalian perhatikan dengan seksama informasi singkat yang akan bapak sampaikan!” Sambung pak guru.

“4 Desember 2021, Gunung Semeru mengalami erupsi, yang kali ini membawa material panas yang menyapu desa-desa di bantaran sungai aliran lahar. Kejadian ini terjadi kemarin sore yang lembab karena sepanjang hari Lumajang diguyur hujan. Dengan adanya hujan, membuat abu vulkanik hanya terkonsentrasi di radius 3-5 km dari puncak Gunung Semeru. Dampaknya sangat mengerikan di Pronojiwo dan Candipuro, beberapa desa di dua kecamatan itu terkubur material vulkanik dan ratusan korban jiwa yang tak sempat menyelamatkan diri ikut terkubur, serta ribuan warga kini terpaksa mengungsi.”

Baca juga

MTS. MIFTAHUL ULUM 2 IKUT SALURAN DONASI KE KORBAN ERUPSI SEMERU

“Adakah dari kalian yang berasal dari dua kecamatan yang tadi bapak sebutkan?” Tanya pak guru kepada kami.

“Di kelas ini ada 12 siswi yang berasal dari Desa Sumberwuluh Candipuro, namun tiga siswi kemarin ada yang kebetulan pulang ke desa karena sakit. Jadi sekarang hanya ada sembilan siswi termasuk dengan saya, pak” Jawabku.

“Rahma, kamu bagian dari OSIM kan ya, bapak minta tolong sekarang kamu data nama-nama siswi tidak hanya di kelas ini, namun semua ada di kelas putri dari kelas 7 sampai kelas 9 MTs. Miftahul Ulum 2. Data juga asramanya di pesantren ini dan siapa saja yang pulang dan belum kembali ke pesantren sebelum terjadinya erupsi. Setelah data terkumpul, nanti Ustadz Wafi dan Ustadz Halim akan memberi pengarahan lebih lanjut.” Perintah pak guru kepadaku. 

Setelah tanya-jawab singkat, pak guru meminta kami memanjatkan doa keselamatan untuk negeri ini pada umumnya dan khusus untuk keselamatan masyarakat yang terdampak erupsi. Beberapa dari kami menitikkan air mata saat pak guru memanjatkan doa.

Di aula putri, Ustadz Wafi dan Ustadz Halim bergantian memberikan motivasi agar kami tetap tegar. Ustadz-ustadz ini juga memberikan arahan bagaimana seharusnya kami menjalani hari di pondok sembari menunggu kabar kondisi orangtua maupun kerabat kami di desa.

“Permisi ustadz, bolehkah saya bertanya?” Kuberanikan diri untuk mengungkapkan apa yang ada di pikiranku.

“Iya Rahma, silahkan!” Ustadz Halim mempersilahkan.

“Izinkan saya dan mungkin beberapa teman-teman yang ada di sini untuk berkontribusi membantu korban, mohon arahannya, ustadz!” Harapku.

“Untuk hal tersebut, kami menunggu kebijakan pesantren. Namun, sedikit yang bisa saya sampaikan di sini bahwa pesantren kita (PPMU) akan melakukan penggalangan dana, membuka posko pengungsian, dan membuat dapur umum.” Jelas Ustadz Halim.

“Jujur saja ustadz, sejak mendengar kabar erupsi, saya tidak dapat konsentrasi untuk belajar, saya mengkhawatirkan nasib orang tua dan saudara-saudara saya di sana. Jika diperbolehkan, akan lebih baik saya membantu entah di dapur umum atau di hal lainnya. Saya mohon ustadz, sampaikan kepada pengurus pesantren bahwa saya dan teman-teman yang berkumpul di aula ini tergerak untuk melakukan aksi kemanusiaan.” Panjang lebar aku memberi alasan agar dapat mengalihkan kecemasan dan berbagi walaupun masih di pesantren.

Baca Juga

INIKAH TAKDIR – CERPEN

“Akan kami sampaikan masukanmu ini kepada pengurus, untuk sementara berikan kami waktu, ya Rahma. Secepatnya akan kami berikan keputusan” Ustadz Wafi berusaha memberi penjelasan dengan singkat.

Di dalam data yang aku kumpulkan hari itu setidaknya ada 45 siswi yang berasal dari dua kecamatan terdampak. Sekitar 20 siswi diketahui sudah dapat berkomunikasi dengan keluarganya. Sedangkan aku dan teman-teman lainnya sedang berharap secepatnya mendapatkan kabar keadaan orang tua kami.

Hari ketiga pasca erupsi, kembali kami dikumpulkan di Aula. Kami dipanggil satu per satu, diberitahukan tentang masing-masing kabar dari keluarga kami. Seiisi ruangan pecah oleh tangisan kami yang bersyukur atas keselamatan keluarga di desa, ada pula yang menangis tiada henti mendengar salah satu anggota keluarga belum ada kabar beritanya dan ada yang pingsan mengetahui sanak kerabat yang dinyatakan wafat.

Inginnya kami tetap tegar namun suasana aula terlampau mencekam dengan isak tangis. Aku berusaha menanyakan kabar ketiga teman kami yang pulang ke desanya sebelum erupsi terjadi, tetapi Ustadz Halim seolah mengetahui isi kepalaku dengan segera memberi tanda untukku diam – mungkin agar tidak menambah beban derita kami.

“Kami mohon maaf dengan informasi yang baru saja kalian dengar, namun ada informasi penting lainnya yang perlu kalian perhatikan. Menanggapi keinginan Rahma dan beberapa dari kalian yang ingin menjadi relawan, Pesantren membuka relawan untuk di dapur umum dan relawan memilah logistik untuk para pengungsi. Jika ada dari kalian yang menginginkannya silahkan menuju Ustadz Wafi untuk didata dan setelah itu akan segera kami jelaskan masing-masing tugas yang akan kalian lakukan selama menjadi relawan.” Dengan tegas Ustadz Halim membuyarkan kekalutan hati kami agar dapat kembali fokus.

Aku sangat berterimakasih dengan diperbolehkannya menjadi relawan, walaupun masih duduk di bangku Tsanawiyah setidaknya tenagaku berguna. Selain itu, aku tidak lagi banyak melamun karena memikirkan keadaan keluargaku di tempat pengungsian.

Koordinator relawan pesantren menempatkanku di bagian memilah logistik, hal ini didasarkan atas pengalamanku menjadi ketua kelas dan bagian dari OSIM. Dari pengamatanku, relawan di pesantren berasal dari lintas usia dan kesemuanya mengajukan dirinya sendiri, tidak satupun dari kami yang dipaksa menjadi relawan.

Hari keempat aku dan teman-teman di bagian memilah logistik mulai bekerja. Kami pilih dan pilah setiap logistik. Sembako kami sisihkan untuk digunakan di dapur umum, susu balita beragam usia dan obat-obatan untuk anak-anak, perlengkapan mandi dan sandangan pribadi untuk perempuan, serta banyak logistik lainnya kami tandai dengan kantong plastik berbeda warna.

“Aku teringat dengan apa yang disampaikan oleh Pak Danang yang saat itu mengajar mata pelajaran PPKn, yang menyampaikan bahwa sebagai manusia kita harus mampu mewujudkan kerjasama di berbagai lingkungan kehidupan apapun kondisinya. Karena kodrat kita sebagai manusia sosial selalu dan pasti membutuhkan bantuan orang lain. Terlebih dalam misi kemanusiaan seperti saat ini, kita tidak diperkenankan tebang pilih dalam memberikan bantuan. Kita adalah masyarakat Indonesia yang memiliki beragam suku, budaya, adat, dan agama. Jadi, tidak sepatutnya latar belakang suku, agama, ras, dan antar golongan menjadi penyekat untuk saling tolong-menolong.” Gumamku sekedar melepas rasa lelah.

“Benar sekali, kita sering kali sulit untuk menolong orang lain, terlebih yang berbeda keyakinan dengan diri kita” Ungkap Izzah menimpali ucapanku.

“Yang perlu untuk selalu diingat adalah kita ini manusia yang lemah, jika memang ada kesempatan untuk membantu orang lain, jangan lagi ditunda, tanpa menanyakan agama atau hal lain. Jika kalian lelah silahkan istirahat dulu!” Sambung kakak senior menggarisbawahi obrolanku dengan Izzah.

“Baik, kak.” Aku dan Izzah kompak menjawab.

Logistik terus berdatangan untuk disortir terlebih dahulu, sedangkan logistik-logistik yang telah terpilah kemudian dibawa ke posko-posko pengungsian untuk didistribusikan ke para pengungsi. Aku takjub melihat bagaimana kita dapat bergotong-royong, saling berbagi tugas tanpa ada yang mengeluh semuanya karena Allah.

 Di hari kelima, Ustadz Wafi memanggilku, menyampaikan kabar dan keberadaan ketiga teman kami yang sedang berada di desa di saat erupsi terjadi.

“Rahma, Izzah, baru saja relawan yang ada di lapangan mengabarkan tentang kondisi ketiga teman kalian beserta keluarganya. Alhamdulillah ketiganya baik-baik saja, kini  ada di posko pengungsian. Selain itu, hampir semua rumah di desa tempat kalian bermukim kini tidak dapat lagi ditempati, karena banyak yang sudah tertimbun material. Pemerintah harus mengosongkan beberapa desa, khawatir adanya erupsi susulan. Saya tahu kalian kuat, kalian pasti mampu melewati ini semuanya. Allah SWT yang akan menolong kita” Terang Ustadz Wafi menjelaskan pelan-pelan kepada kami.

“Ustadz, bagaimana caranya untuk dapat kami bertemu dengan keluarga?” Tanya Izzah yang sangat merindukan keluarganya.

“Kemungkinan mulai besok pagi pesantren akan menerima pengungsi khususnya dari keluarga santri. Keluarga santri terdampak boleh bermukim di pesantren. Secepatnya kamu akan bertemu dengan keluargamu, namun kamu juga harus bersabar karena mereka masih di pengungsian. Sabar Izzah, relawan kami di lapangan tetap pro-aktif menjalin komunikasi dengan keluarga santri” Ustadz berusaha menenangkan Izzah.

Aku dan Izzah kembali ke ruang sortir logistik melanjutkan rutinitas kami menjadi relawan di pesantren tempat kami menimba ilmu. Untuk mengalihkan rindu Izzah kepada keluarganya, aku mengajaknya berdiskusi tentang pelajaran PPKn yang membahas tentang kerukunan umat beragama, empati sosial, dan semacamnya.

“Ma, kita ini sedang tertimba musibah, bisa-bisanya kamu ngajak diskusi?” komplain Izzah.

“Justru dengan kondisi kita seperti ini membuat diskusi semakin terasa menarik.” Aku memberinya semangat, karena yang aku tahu dialah teman yang baik untuk berdiskusi hampir di semua mata pelajaran.

“Kalau dipikir-pikir kembali, pelajaran PPKn itu perlu sekali untuk menumbuhkan tenggang rasa dan empati sosial. Terlebih untuk menjalin kerukunan umat beragama yang mulai renggang, tidak hanya sesama Islam namun juga antar agama-agama di Indonesia.” Izzah mengutarakan isi pikirannya.

“Perlukah gotong-royong, empati sosial, maupun kerukunan umat beragama hanya dilakukan seperti saat terjadi bencana ini?” Kucoba memancing diskusi lebih lanjut. “Ya seharusnya memang setiap waktu dan setiap momen harus kita terapkan, tidak perlu menunggu terjadi bencana. Ingat yang Pak Danang sampaikan di kelas, bahwa manusia itu terikat oleh tanggung jawab moral dan sosial. Sehingga di manapun dan kapan pun jika kita dibutuhkan harus selalu siap melaksanakan tanggung jawab.” Terang Izzah menjelaskan lebih lanjut pertanyaanku.

Hari keenam sejak terjadinya erupsi, aku mendapat kabar di saat breafing bahwa aktivitas di posko-posko pengungsian mulai kondusif. Tidak sekalut hari-hari sebelumnya. Aku beserta teman-teman yang keluarga kami terdampak erupsi dikumpulkan lagi di aula putri.

“Assalamualaikum. Hari ini kami kumpulkan kalian di sini untuk serah terima dana donasi yang diamanatkan kepada pesantren untuk diberikan yang salah-satu penerimanya adalah kalian. Donasi ini untuk meringankan beban orangtua kalian yang saat ini sedang mengalami musibah” Jelas Ustadz Halim

“Walaupun tidak banyak, kami berharap kalian dapat memanfaatkannya sebaik mungkin. Jika ada orang tua kalian ingin bermukim di pesantren, dipersilahkan sampai semuanya pulih kembali.” Ustadz Halim menjelaskan.

Selepas pembagian donasi di aula putri, aku dan teman-teman relawan kembali ke pos masing-masing. Kali ini logistik dikemas tiap paket dengan satuan jenis dan jumlah yang sudah ditentukan, hal ini dikarenakan pengungsi menyebar ke hampir di semua kecamatan di Kabupaten Lumajang sebagai imbas pengosongan desa-desa terdampak erupsi.

Banyak hal yang dapat aku petik dari erupsi Semeru ini, yaitu bahwa manusia sejatinya lemah tiada daya dan kekuatan di hadapan Tuhan. Kesombongan manusia mengeksploitasi dan merusak alam tidak dibenarkan. Karena jika alam rusak, manusia pula yang akan merugi.

Dalam aksi kemanusiaan erupsi Semeru, yang kupelajari bahwa kemanusiaan sepatutnya diatas egosentris kesukuan, agama, politik, dan antar golongan. Kesiap-siagaan kita dalam merespon untuk segera memberi bantuan harus diasah lebih baik lagi.

Aku berharap semoga kita semua tabah menjalani ketetapan Allah SWT, dan segera dapat bangkit dengan lebih baik serta dapat semakin memperkuat jalinan persatuan-kesatuan Bangsa Indonesia.

*) Siswi Kelas 9 MTs. Miftahul Ulum 2 Bakid

0 thoughts on “Aksi Kemanusiaan Erupsi Semeru – Cerpen”

  1. Pingback: Pesan Ibuku - Cerpen - MTs. Miftahul Ulum 2

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *